Kajian RUU P-KS
Oleh :
Siska Lis Sulistiani M.Ag, M.E,Sy (Ketua Advokasi Bidang Perempuan KAMMI Pusat)Maya Rahmanah (Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan KAMMI KALTIMTARA)
RUU PKS adalah singkatan dari rancangan penghapusan kekerasan seksual, yang pada 19 mei 2016 Badan Legislasi DPR (Baleg) menerima Naskah Akademik dan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang merupakan usulan anggota DPR (ditandatangani oleh 70 orang anggota legislativ, terdiri dari Fraksi PDIP, PKB dan PAN) Pada 6 Juni 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama FPL telah menyerahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada Pimpinan DPR Kemudian selanjutnya masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas) 2016- 2019.
Selanjutnya, Pimpinan legislatif mengirimkan surat dan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kepada Pemerintah pada 6 April 2017, setelah disahkan dalam paripurna sebagai inisiatif DPR.
RUU penghapusan kekerasan seksual ini muncul setelah di terbitkannya Perppu Nomor 1 tahun 2016 (dikenal saat itu dengan istilah perppu kebiri) tentang perubahan kedua No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Saat ini pembahasan mengenai RUU P-KS ini ada di tingkat rapat komisi VII DPR, sebagai keterangan, pembahasan RUU memiliki dua tingkat pembahasan yaitu pembahasan tingkat I dan pembahasan tingkat II. Pembahasan tingkat I ada pada rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Pembahsan tingkat II ada pada rapat paripurna yang secara sederhana hanya merupakan pembahasan untuk persetujuan atau penolakan RUU. RUU yang disetujui dalam pembahasan tingkat II untuk selanjutnya disahkan sebagai UU. Penarikan atas RUU yang telah dibahas, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama presiden dan DPR RI.
Diantara beberapa catatan terkait RUU ini, diantaranya:
“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Definisi yang diusulkan dalam RUU ini bermasalah dalam hal:
Dari definisi tersebut berimplikasi pada Pasal 6 tentang bentuk pencegahan terhadap kekerasan seksual yaitu melalui sosialisasi materi terkait penghapusan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Jika definisi tersebut belum jelas dan masih muncul pertentangan makna khususnya dengan nilai agama yang dianut mayoritas masyarakat di Indonesia maka akan menjadi rancu. Sehingga jika kembali pada Pasal 2 tentang asas RUU ini tidak di dasarkan pada nilai keTuhanan yang Maha Esa.
Padahal sebagaimana yang kita yakini benteng terkuat dalam mencegah tindak kejahatan khususnya masalah ini adalah iman pada Tuhan YME (ALLAH SWT).
Dengan demikian, istilah Kejahatan Seksual lebih memenuhi kriteria “darurat kejahatan seksual” yang sedang terjadi di masyarakat, lebih tepat untuk digunakan dibandingkan dengan istilah “Kekerasan Seksual”.
“Di tingkat kultur atau budaya hukum, masih terdapat aparatur penegak hukum yang mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban. Pertanyaan seperti memakai baju apa, sedang berada dimana, dengan siapa jam berapa, merupakan beberapa pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh aparat penegak hukum ketika menerima laporan kasus perkosaan. Pertanyaan semacam itu tidak saja menunjukkan ketiadaan perspektif korban, tetapi juga merupakan bentuk menghakimi korban dan membuat korban mengalami kekerasan kembali (reviktimisasi).” Dari petikan naskah akademik tersebut seolah dalam kasus tindak kejahatan seksual tidak menganut hukum kausalitas, sehingga aspek penyebab lainnya itu dikesampingkan. Bahwa masalah kejahatan seksual ini adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah, mengingat sistem hukum di Indonesia yang dalam hal ini terkait substansi dan budaya hukum yang ada. Namun perlu juga memperhatikan nilai , etika dan norma agama yang menjadi pijakan kita khususnya sebagai seorang muslim. Akan tetapi dalam pembuatan sebuah rancangan undang-undang perlu memperhatikan aspek lain, khususnya sebab akibat . oleh karena itu, dalam hukum Islam adanya maqashid syariah untuk menjaga kemaslahatan bagi semua pihak.
KAMMI mengambil sikap tegas menolak mengingat mempelajari naskah akademik sebagai ruh nafas dari RUU ini dan beberapa pasal yang mendasar. karena mengambil sikap untuk menekan pihak DPR bisa menjadikan pihak DPR memperhatikan soal tekanan yang kontra dengan memikirkan solusi terbaik terkait maslah ini.
orientasi seksual spt LGBT, jika hasrat seksual menginginkan bersenggama dengan sesama jenis bisa saja kan. sehingga bisa multitafsir
perlu adanya memperbaiki definisi yang lebih mengakomodir nilai dan norma yang berlaku di Indonesia. mengingat masalah kesusilaan atau kejahatan seksual hal yang sangat kompleks di Indonesia, sehingga hal tersebut tidak menjadi masalah dikemudian hari.
pro kontra adalah suatu keniscayaan, mengingat masalah kejahatan seksual adalah pekerjaan rumah yang tak pernah usai. sikap KAMMI sudah jelas melalui pernyataan sikapnya, oleh karena itu kajian ini bagian dari rasionalisasi sikap kammi khususnya bidang perempuan. semoga dengan adanya tekanan , kritik dan saran dari semua pihak dalam rangka membangun sistem dan budaya hukum di Indonesia yang lebih baik, untuk kemaslahatan bangsa. Allahu alam bi showaf …
mohon maaf lahir batin
Leave a Reply